Rasa aman di mana gerangan berada? Orang kemudian
ramai-ramai membeli rasa aman dengan memasang kamera pengintai atau CCTV.
Mata-mata kamera itu menyelusup ke lingkup sangat pribadi: keluarga.
Karena sibuk bekerja, pasangan Farid dan Diana yang tinggal
di Bandung timur mempercayakan putri tunggal mereka, Nabila, di bawah pengawasan
kamera pengintai (closed-circuit television/CCTV). Nabila yang berusia sembilan
tahun ditinggal sendirian di rumah.
”Nabila biasanya pulang sekolah sekitar pukul 14.30. Istri
saya sampai rumah sekitar pukul 18.00 dan saya lebih malam lagi. Jadi, rumah
kosong sejak pagi, lalu selama beberapa jam anak saya sendirian di rumah,” kata
Farid.
Untuk memantau kegiatan anaknya, Farid memasang CCTV di lima
titik dalam rumah dan satu titik di depan pintu muka rumah. Farid memasang CCTV
sejak pertengahan 2010 ketika pembantu rumah tangganya berhenti bekerja.
Kamera itu lantas disambungkan ke internet untuk merekam
berdasarkan sensor gerak. Begitu ada gerakan, kamera akan merekam. Beberapa
kali dalam sehari, Farid memantau kegiatan anaknya di rumah lewat komputer di
kantor atau iPhone.
”Jadi, misalnya, anak saya jatuh di rumah, saya bisa telepon
tetangga atau satpam karena pasti butuh waktu lebih lama buat saya untuk sampai
rumah,” katanya.
Nabila pun lebih waspada dengan situasi lingkungan. Setiap
kali ada tamu, gadis kecil itu akan mengecek dulu siapa yang datang lewat
komputer yang menayangkan kamera di depan rumah. ”Kalau ngeliat lewat jendela,
nanti ketahuan ada orang di rumah, anak kecil lagi,” kata Farid.
Permintaan membanjir
Semakin banyak orang yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan
rasa aman pada teknologi canggih berdampak pada membanjirnya permintaan.
Kemudahan berjualan CCTV bisa diibaratkan seperti berdagang kacang rebus.
Direktur Perusahaan IT-Security CV Solusi Global Bersama M
Kurniawan Djamil mengaku kaget ketika permintaan CCTV melonjak drastis sejak
dua tahun terakhir. Nilai penjualannya meningkat dua kali lipat dari hanya Rp
800 juta pada akhir 2010 menjadi Rp 2 miliar di akhir 2011.
Anehnya lagi, lonjakan permintaan itu bukan berasal dari
perusahaan, melainkan perorangan. CV Solusi Global Bersama yang sebelumnya
menjalin kerja sama dengan instansi, seperti Bank Tabungan Negara, Astra
International, dan Pertamina, pun memilih mulai melancarkan promosi ke
perumahan-perumahan.
Saat ini, produk kamera pengintai telah membanjiri pasaran
dengan berbagai macam fitur. Iklan penjualan CCTV mudah ditemui di situs
internet hingga perempatan jalan raya. CCTV diminati karena murah dengan
rentang paket harga dari Rp 2,8 juta (empat kamera) hingga Rp 16,5 juta
tergantung dari kualitas rekaman.
Tengoklah perumahan Adora Permata Bintaro. Tak cukup dengan
penjagaan dari tujuh satpam yang bertugas 24 jam, warga perumahan ini memasang delapan
CCTV di sudut-sudut rawan. Dari iuran warga, mereka membeli kamera seharga
total Rp 25 juta. Hasilnya, maling-maling bisa diusir.
Kehadiran CCTV itu, menurut koordinator keamanan Adora,
Aridian Andrianto (39), dirasa perlu karena semua rumah di kluster ini tak
berpagar. Kluster Adora juga berbatasan langsung dengan banyak lahan kosong.
Pencurian barang, seperti sepeda, yang dulu pernah terjadi
kini tak pernah ada lagi. ”Kami jadi bisa dengan mudah mengawasi lalu lintas
tamu,” kata Aridian.
Sari, warga Bangunreksa Indah II, Ciledug, sampai memasang
12 CCTV seharga Rp 7 juta di rumahnya. Baru satu bulan memasang kamera
pengintai, Sari sudah memergoki orang yang berusaha mencuri di rumah yang juga
difungsikan sebagai perusahaan garmen itu.
Lewat kamera pengintai, Sari lebih gampang memantau
pegawai-pegawainya. Kasus pencurian kain oleh pegawai yang selama ini
ditengarai terjadi pun bisa dicegah. ”Pasang kamera untuk menjaga aset. Kalau
pegawai tidak salah, ya, enggak perlu merasa dimata-matai,” ujar Sari.
Ironi budaya
Semakin banyaknya warga yang memasang CCTV, menurut sosiolog
dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, menunjukkan ada kemerosotan
pemenuhan rasa aman oleh negara. Rasa aman juga semakin berkurang karena
ekonomisasi dan sektarianisme menggerus solidaritas warga. Akibatnya, ikatan
sosial melemah dan saling percaya hilang.
Seperti di negara miskin Amerika Latin, orang kaya di
Indonesia semakin merasa tidak aman sekaligus tidak lagi percaya kepada aparat
negara sehingga mereka membayar tenaga serta alat keamanannya sendiri.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala,
menambahkan, kota-kota besar di Indonesia tampaknya akan segera masuk dalam
kelompok police metro atau metropolitan yang penuh polisi. Police metro ini bagian
dari police state atau negara yang penuh dengan aparat dan ancaman hukum jika
warga negaranya melanggar hukum.
Dalam hal ini, apa yang disebut sebagai police state jauh
meningkat kapasitasnya dengan bantuan CCTV. Kamera ini mampu bekerja memonitor
kegiatan warga negara pada saat aparat tidak ada. Police state amat jelas
terlihat di kota-kota besar sehingga memunculkan julukan baru, police metro.
Kecanggihan gaya hidup baru khas masyarakat urban ini
dinilai sebagai produk kapitalisme global yang juga terjadi di banyak negara.
Gaya hidup tersebut, menurut dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Indonesia, Tommy F Awuy, memunculkan ironi budaya.
Ironi budaya terjadi karena ruang urban yang canggih ini
tidak dibarengi dengan terciptanya mentalitas, sikap, dan tatanan hidup yang
lebih baik. ”Muncul low trust society, masyarakat yang tak mudah percaya kepada
orang lain,” ujarnya.
Krisis kepercayaan kepada orang lain inilah yang kemudian
membuat manusia modern lebih percaya pada perangkat teknologi daripada manusia
lain. Kehadiran manusia lantas dihilangkan dan tak ada lagi optimisme bahwa
orang lain adalah baik.
Dikutip dari Harian Kompas Tanggal 20 Mei 2012