Senin, 21 Mei 2012

Dalam Lindungan Kamera Pengintai


Rasa aman di mana gerangan berada? Orang kemudian ramai-ramai membeli rasa aman dengan memasang kamera pengintai atau CCTV. Mata-mata kamera itu menyelusup ke lingkup sangat pribadi: keluarga. 

Karena sibuk bekerja, pasangan Farid dan Diana yang tinggal di Bandung timur mempercayakan putri tunggal mereka, Nabila, di bawah pengawasan kamera pengintai (closed-circuit television/CCTV). Nabila yang berusia sembilan tahun ditinggal sendirian di rumah.

”Nabila biasanya pulang sekolah sekitar pukul 14.30. Istri saya sampai rumah sekitar pukul 18.00 dan saya lebih malam lagi. Jadi, rumah kosong sejak pagi, lalu selama beberapa jam anak saya sendirian di rumah,” kata Farid.

Untuk memantau kegiatan anaknya, Farid memasang CCTV di lima titik dalam rumah dan satu titik di depan pintu muka rumah. Farid memasang CCTV sejak pertengahan 2010 ketika pembantu rumah tangganya berhenti bekerja.

Kamera itu lantas disambungkan ke internet untuk merekam berdasarkan sensor gerak. Begitu ada gerakan, kamera akan merekam. Beberapa kali dalam sehari, Farid memantau kegiatan anaknya di rumah lewat komputer di kantor atau iPhone.

”Jadi, misalnya, anak saya jatuh di rumah, saya bisa telepon tetangga atau satpam karena pasti butuh waktu lebih lama buat saya untuk sampai rumah,” katanya.

Nabila pun lebih waspada dengan situasi lingkungan. Setiap kali ada tamu, gadis kecil itu akan mengecek dulu siapa yang datang lewat komputer yang menayangkan kamera di depan rumah. ”Kalau ngeliat lewat jendela, nanti ketahuan ada orang di rumah, anak kecil lagi,” kata Farid.
  
Permintaan membanjir

Semakin banyak orang yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan rasa aman pada teknologi canggih berdampak pada membanjirnya permintaan. Kemudahan berjualan CCTV bisa diibaratkan seperti berdagang kacang rebus.

Direktur Perusahaan IT-Security CV Solusi Global Bersama M Kurniawan Djamil mengaku kaget ketika permintaan CCTV melonjak drastis sejak dua tahun terakhir. Nilai penjualannya meningkat dua kali lipat dari hanya Rp 800 juta pada akhir 2010 menjadi Rp 2 miliar di akhir 2011.

Anehnya lagi, lonjakan permintaan itu bukan berasal dari perusahaan, melainkan perorangan. CV Solusi Global Bersama yang sebelumnya menjalin kerja sama dengan instansi, seperti Bank Tabungan Negara, Astra International, dan Pertamina, pun memilih mulai melancarkan promosi ke perumahan-perumahan.

Saat ini, produk kamera pengintai telah membanjiri pasaran dengan berbagai macam fitur. Iklan penjualan CCTV mudah ditemui di situs internet hingga perempatan jalan raya. CCTV diminati karena murah dengan rentang paket harga dari Rp 2,8 juta (empat kamera) hingga Rp 16,5 juta tergantung dari kualitas rekaman.

Tengoklah perumahan Adora Permata Bintaro. Tak cukup dengan penjagaan dari tujuh satpam yang bertugas 24 jam, warga perumahan ini memasang delapan CCTV di sudut-sudut rawan. Dari iuran warga, mereka membeli kamera seharga total Rp 25 juta. Hasilnya, maling-maling bisa diusir.

Kehadiran CCTV itu, menurut koordinator keamanan Adora, Aridian Andrianto (39), dirasa perlu karena semua rumah di kluster ini tak berpagar. Kluster Adora juga berbatasan langsung dengan banyak lahan kosong.

Pencurian barang, seperti sepeda, yang dulu pernah terjadi kini tak pernah ada lagi. ”Kami jadi bisa dengan mudah mengawasi lalu lintas tamu,” kata Aridian.

Sari, warga Bangunreksa Indah II, Ciledug, sampai memasang 12 CCTV seharga Rp 7 juta di rumahnya. Baru satu bulan memasang kamera pengintai, Sari sudah memergoki orang yang berusaha mencuri di rumah yang juga difungsikan sebagai perusahaan garmen itu.

Lewat kamera pengintai, Sari lebih gampang memantau pegawai-pegawainya. Kasus pencurian kain oleh pegawai yang selama ini ditengarai terjadi pun bisa dicegah. ”Pasang kamera untuk menjaga aset. Kalau pegawai tidak salah, ya, enggak perlu merasa dimata-matai,” ujar Sari.

Ironi budaya

Semakin banyaknya warga yang memasang CCTV, menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, menunjukkan ada kemerosotan pemenuhan rasa aman oleh negara. Rasa aman juga semakin berkurang karena ekonomisasi dan sektarianisme menggerus solidaritas warga. Akibatnya, ikatan sosial melemah dan saling percaya hilang.

Seperti di negara miskin Amerika Latin, orang kaya di Indonesia semakin merasa tidak aman sekaligus tidak lagi percaya kepada aparat negara sehingga mereka membayar tenaga serta alat keamanannya sendiri.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menambahkan, kota-kota besar di Indonesia tampaknya akan segera masuk dalam kelompok police metro atau metropolitan yang penuh polisi. Police metro ini bagian dari police state atau negara yang penuh dengan aparat dan ancaman hukum jika warga negaranya melanggar hukum.

Dalam hal ini, apa yang disebut sebagai police state jauh meningkat kapasitasnya dengan bantuan CCTV. Kamera ini mampu bekerja memonitor kegiatan warga negara pada saat aparat tidak ada. Police state amat jelas terlihat di kota-kota besar sehingga memunculkan julukan baru, police metro.

Kecanggihan gaya hidup baru khas masyarakat urban ini dinilai sebagai produk kapitalisme global yang juga terjadi di banyak negara. Gaya hidup tersebut, menurut dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Tommy F Awuy, memunculkan ironi budaya.

Ironi budaya terjadi karena ruang urban yang canggih ini tidak dibarengi dengan terciptanya mentalitas, sikap, dan tatanan hidup yang lebih baik. ”Muncul low trust society, masyarakat yang tak mudah percaya kepada orang lain,” ujarnya.

Krisis kepercayaan kepada orang lain inilah yang kemudian membuat manusia modern lebih percaya pada perangkat teknologi daripada manusia lain. Kehadiran manusia lantas dihilangkan dan tak ada lagi optimisme bahwa orang lain adalah baik.

Dikutip dari Harian Kompas Tanggal 20 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar